Jusuf Ronodipuro – Suaranya Berkelana di Udara

“Sekali di udara, tetap di udara.”

Siapa tidak tahu slogan legendaris di atas? Mungkin banyak yang belum tahu bahkan belum pernah dengar. Bagi angkatan lama atau para pendengar radio sejati, slogan “Sekali di udara, tetap di udara” bukan menjadi hal asing lagi.

Ya, slogan itu adalah slogan milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang berumur sama dengan Republik Indonesia. Slogan itu menjadi bukti bahwa eksistensi radio tetap bertahan hingga sekarang di tengah era digital. Bicara tentang RRI, tentu tak akan lepas dari seorang tokoh pahlawan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan radio di Indonesia, terutama di masa perjuangan melawan penjajah.

© @maswendix

Dialah Jusuf Ronodipuro. Pria kelahiran Salatiga 30 September 1919 ini adalah salah satu pendiri RRI, sekaligus pencetus slogan legendaris itu. Setelah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, seluruh jaringan penyiaran dikuasai oleh Jepang. Berita-berita maupun program siaran harus melalui izin ketat dari pihak Jepang. Pada masa itu, Jusuf Ronodipuro bekerja sebagai penyiar dan wartawan radio militer Jepang di Jakarta, Hoso Kyoku.

Continue reading

Darah Yang Sia-sia

Mentari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur. Dingin pagi masih terasa menusuk kulit. Bahkan tak tampak tanda-tanda ayam jago menyuarakan kokoknya. Geliat pagi ini tampak berbeda. Beberapa orang diam di posisi mereka masing-masing, bersembunyi. Di tengah komplek perkampungan terlihat seorang perempuan sedang menimang bayinya yang berselimut selendang. Tak beberapa lama kemudian, datang sekelompok tentara Belanda memanggul senjata mereka. Tiba-tiba perempuan tadi membuka selendang di tangannya, itu bukan bayi tapi senjata api. Baku tembak pun tak dapat dihindarkan. Kapten Tomas keluar dari persembunyiannya, rentetan tembakan tepat mengenai beberapa pasukan kompeni. Letkol Amir pun tak kalah garang. Dengan mantap, dia lemparkan bom molotov tepat mengenai kendaraan para penjajah. Dengan mantap pula, menggetarkan hati setiap pejuang kala itu, dia kepalkan tangan ke arah langit, satu kata keluar dari mulutnya, “Merdeka!”.

© saling-kita.blogspot.com
© saling-kita.blogspot.com

Itu sepenggal adegan dari film “Hati Merdeka”. Film yang bercerita tentang perjuangan sekelompok kadet dalam upaya membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah. Belenggu yang kala itu menjadi hal yang paling ingin dihancurkan oleh setiap warga Indonesia yang bernyawa. Sejarah telah mencatat betapa heroiknya para pejuang untuk membebaskan tanah mereka dari injakan kaki para kompeni. Tak peduli apa status sosial, etnis, budaya, juga suku mereka.

Banyak hal dikorbankan ketika penjajajahan melanda Indonesia. Pengorbanan tak hanya dilakukan oleh tentara. Hampir seluruh warga sipil juga mengorbankan apa yang mereka miliki. Mulai dari harta, tenaga, sanak keluarga, hingga nyawa. Dalam darah mereka telah mengalir semangat untuk terus berjuang. Hanya satu tujuan yang ada di hati mereka, Indonesia Merdeka. Cucuran keringat menghiasi wajah, tetesan darah membasahi tanah. Darah mereka tak sia-sia, keringat mereka dibayar bahagia. Kini, kemerdekaan telah dihadiahkan kepada mereka. Kepada mereka yang gigih menolak sebutan “inlander”.

Indonesia kini sangatlah berbeda dengan masa pendudukan Belanda atau Jepang. Dulu, hampir tiap hari suara desingan peluru, erangan kesakitan dari korban bambu runcing, atau jeritan ketakutan dari anak kecil mengisi siang juga malam. Kini, keluhan banyak terucap. “Ah internetnya kok lemot sih”, “Macet lagi, macet lagi”, bahkan “Pemerintah kok nggak becus ya?” seperti menjadi santapan sehari-hari. Kita sudah banyak mengeluh tanpa aksi nyata. Kita lupa akan aksi para pejuang. Mereka berjuang gagah tanpa mengeluh meski badan bermandi peluh.

Kita ditakdirkan berbeda. Mungkin saja kita penulis, mungkin saja kita pejabat, atlet, dokter, guru, sopir bus, atau apapun itu. Namun, di tengah perbedaan itu kita tetap dapat mempertahankan kemerdekaan bangsa kita. Tak perlu kita angkat senjata dan pergi menembaki musuh. Penulis dengan tulisan berdasar kebenaran, dapat disejajarkan dengan pejuang. Pejabat yang selalu menjaga kejujuran, itu akan sangat dianggap pahlawan. Atlet yang mengharumkan nama Indonesia, namanya akan disanjung bak nama pejuang Revolusi. Dokter dan guru yang gigih menjadikan rakyat tetap sehat dan pintar tanpa tuntutan akan materi, pejuang yang sungguh langka. Atau mungkin sopir bus, pejuang yang berjasa mengantarkan pejuang lain “bergerilya” dari satu tempat ke tempat lain. Siapapun kita, apapun kita, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapatkan arti “Merdeka” yang sesungguhnya.

Kemampuan, tekad, serta hati kita adalah senjata untuk menjaga kemerdekaan. Jangan jadikan kemerdekaan Indonesia sebagai perayaan tahunan semata. Jangan pula biarkan 69 tahun sebagai angka cantik yang indah dipandang. Pejuang kemerdekaan tak ragu menumpahkan darah. Apakah kita masih ragu untuk berbuat hal sederhana untuk Indonesia? Apakah kita masih bertanya “Aku bisa apa?”? Apakah kita masih bertanya “Aku akan dapat apa?”? Just do it for Indonesia. Kita harus bangkit, kita harus tetap berjuang dengan kemampuan kita masing-masing. Berjuanglah dengan sungguh-sungguh untuk Indonesia, juga untuk Sang Penguasa alam semesta. Tak mau ‘kan darah kita menjadi sia-sia? (Uniz)