Jusuf Ronodipuro – Suaranya Berkelana di Udara

“Sekali di udara, tetap di udara.”

Siapa tidak tahu slogan legendaris di atas? Mungkin banyak yang belum tahu bahkan belum pernah dengar. Bagi angkatan lama atau para pendengar radio sejati, slogan “Sekali di udara, tetap di udara” bukan menjadi hal asing lagi.

Ya, slogan itu adalah slogan milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang berumur sama dengan Republik Indonesia. Slogan itu menjadi bukti bahwa eksistensi radio tetap bertahan hingga sekarang di tengah era digital. Bicara tentang RRI, tentu tak akan lepas dari seorang tokoh pahlawan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan radio di Indonesia, terutama di masa perjuangan melawan penjajah.

© @maswendix

Dialah Jusuf Ronodipuro. Pria kelahiran Salatiga 30 September 1919 ini adalah salah satu pendiri RRI, sekaligus pencetus slogan legendaris itu. Setelah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, seluruh jaringan penyiaran dikuasai oleh Jepang. Berita-berita maupun program siaran harus melalui izin ketat dari pihak Jepang. Pada masa itu, Jusuf Ronodipuro bekerja sebagai penyiar dan wartawan radio militer Jepang di Jakarta, Hoso Kyoku.

Continue reading

Silatnas FORNUSA – Eksistensi ROHIS Nusantara

Oleh: RADITA OKTRIANI (Dhies)oktriani

Bagi anak SMA yang lagi libur semesteran ngisi waktu liburan itu adalah hal yang paling menyenangkan. Ya nggak sih? #Eh,semua orang juga gitu kali. Nah, pada libur kesempatan kali ini ada acara super keren dari temen-temen Forum ROHIS Nusantara alias FORNUSA. Tanggal 24 Desember 2014 kemarin diadakan acara penutupan SILATNAS (Silaturrahim Nasional) yang kali ini diadakan di XT Square Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh anak-anak ROHIS senusantara hlo #WowBanget. Iya, peserta ada yang dari Sumatera, Kalimantan, pokoknya sampai Papua deh #KerenKan.

Peserta Silatnas FORNUSA © Dhies
Peserta Silatnas FORNUSA © Dhies

Dan yang paling kerennya, waktu salah satu peserta ditanya tentang motivasi ikut acara ini apa, peserta dari Kalimantan Timur itu menjawab, “Saya ingin ROHIS di Kalimantan Timur bisa lebih baik lagi. Saya ingin liburan saya diisi dengan ilmu yang bermanfaat dan saling mengenal teman-teman seperjuangan di tempat lain, di pulau lain”. #Duh, si mba reporter mulai merinding ngedenger jawaban peserta. Jadi dari obrolan sana sini, acara SILATNAS ini berlangsung selama tiga hari, dua hari sebelum acara penutupan ini peserta menginap di Youth Center Yogyakarta. Kegiatan teman-teman di sini adalah berbagi ilmu dan informasi bagaimana tentang ROHIS di sekolah mereka. Lalu, acara tersebut dilanjutkan dengan acara penutupan dengan rangkaian acara yang tidak kalah seru dari hari-hari kemarin.

Continue reading

Darah Yang Sia-sia

Mentari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur. Dingin pagi masih terasa menusuk kulit. Bahkan tak tampak tanda-tanda ayam jago menyuarakan kokoknya. Geliat pagi ini tampak berbeda. Beberapa orang diam di posisi mereka masing-masing, bersembunyi. Di tengah komplek perkampungan terlihat seorang perempuan sedang menimang bayinya yang berselimut selendang. Tak beberapa lama kemudian, datang sekelompok tentara Belanda memanggul senjata mereka. Tiba-tiba perempuan tadi membuka selendang di tangannya, itu bukan bayi tapi senjata api. Baku tembak pun tak dapat dihindarkan. Kapten Tomas keluar dari persembunyiannya, rentetan tembakan tepat mengenai beberapa pasukan kompeni. Letkol Amir pun tak kalah garang. Dengan mantap, dia lemparkan bom molotov tepat mengenai kendaraan para penjajah. Dengan mantap pula, menggetarkan hati setiap pejuang kala itu, dia kepalkan tangan ke arah langit, satu kata keluar dari mulutnya, “Merdeka!”.

© saling-kita.blogspot.com
© saling-kita.blogspot.com

Itu sepenggal adegan dari film “Hati Merdeka”. Film yang bercerita tentang perjuangan sekelompok kadet dalam upaya membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah. Belenggu yang kala itu menjadi hal yang paling ingin dihancurkan oleh setiap warga Indonesia yang bernyawa. Sejarah telah mencatat betapa heroiknya para pejuang untuk membebaskan tanah mereka dari injakan kaki para kompeni. Tak peduli apa status sosial, etnis, budaya, juga suku mereka.

Banyak hal dikorbankan ketika penjajajahan melanda Indonesia. Pengorbanan tak hanya dilakukan oleh tentara. Hampir seluruh warga sipil juga mengorbankan apa yang mereka miliki. Mulai dari harta, tenaga, sanak keluarga, hingga nyawa. Dalam darah mereka telah mengalir semangat untuk terus berjuang. Hanya satu tujuan yang ada di hati mereka, Indonesia Merdeka. Cucuran keringat menghiasi wajah, tetesan darah membasahi tanah. Darah mereka tak sia-sia, keringat mereka dibayar bahagia. Kini, kemerdekaan telah dihadiahkan kepada mereka. Kepada mereka yang gigih menolak sebutan “inlander”.

Indonesia kini sangatlah berbeda dengan masa pendudukan Belanda atau Jepang. Dulu, hampir tiap hari suara desingan peluru, erangan kesakitan dari korban bambu runcing, atau jeritan ketakutan dari anak kecil mengisi siang juga malam. Kini, keluhan banyak terucap. “Ah internetnya kok lemot sih”, “Macet lagi, macet lagi”, bahkan “Pemerintah kok nggak becus ya?” seperti menjadi santapan sehari-hari. Kita sudah banyak mengeluh tanpa aksi nyata. Kita lupa akan aksi para pejuang. Mereka berjuang gagah tanpa mengeluh meski badan bermandi peluh.

Kita ditakdirkan berbeda. Mungkin saja kita penulis, mungkin saja kita pejabat, atlet, dokter, guru, sopir bus, atau apapun itu. Namun, di tengah perbedaan itu kita tetap dapat mempertahankan kemerdekaan bangsa kita. Tak perlu kita angkat senjata dan pergi menembaki musuh. Penulis dengan tulisan berdasar kebenaran, dapat disejajarkan dengan pejuang. Pejabat yang selalu menjaga kejujuran, itu akan sangat dianggap pahlawan. Atlet yang mengharumkan nama Indonesia, namanya akan disanjung bak nama pejuang Revolusi. Dokter dan guru yang gigih menjadikan rakyat tetap sehat dan pintar tanpa tuntutan akan materi, pejuang yang sungguh langka. Atau mungkin sopir bus, pejuang yang berjasa mengantarkan pejuang lain “bergerilya” dari satu tempat ke tempat lain. Siapapun kita, apapun kita, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapatkan arti “Merdeka” yang sesungguhnya.

Kemampuan, tekad, serta hati kita adalah senjata untuk menjaga kemerdekaan. Jangan jadikan kemerdekaan Indonesia sebagai perayaan tahunan semata. Jangan pula biarkan 69 tahun sebagai angka cantik yang indah dipandang. Pejuang kemerdekaan tak ragu menumpahkan darah. Apakah kita masih ragu untuk berbuat hal sederhana untuk Indonesia? Apakah kita masih bertanya “Aku bisa apa?”? Apakah kita masih bertanya “Aku akan dapat apa?”? Just do it for Indonesia. Kita harus bangkit, kita harus tetap berjuang dengan kemampuan kita masing-masing. Berjuanglah dengan sungguh-sungguh untuk Indonesia, juga untuk Sang Penguasa alam semesta. Tak mau ‘kan darah kita menjadi sia-sia? (Uniz)

Sharing & Discussion with The Muslim’ Show

Wednesday (12/3) at Dreamlab Building of Petakumpet, another session with The Muslim’ Show’s team was held. This time, we had a chance to talk, casually, with Nooredin Allam and co, the founders of comic strips The Muslim’ Show.

The Muslim' Show team © Nop-Nop
The Muslim’ Show team © Nop-Nop

After isya’ prayer time, the three of them came in Dreamlab Building, where the session held. Some enthusiasts already came and waiting for them. After a flash opening, a prologue from the moderator (from Mizan Publishing), we started the share & discussion session.

First of all, the Muslim’ Show team introducing their self again. Nooredin Allam was the head/leader of the team. He took part as idea and story board maker. Next, there is Karim Allam, the colorist, and Greg Blondin at the inking.

Greg showing us how he draws the Muslim' Show © Nop-Nop
Greg showing us how he draws the Muslim’ Show © Nop-Nop

The audiences had a free chance to ask any question to them. Not only ’bout the comic itself, but also ’bout anything concerned Muslim in France. Oh, FYI Muslim’ Show’s origin is from France. Nooredin and others were a classmate on their Design School. After graduate, they took a job as freelance illustrator for Asterix & Obelix until they decided to make a comic strip called The Muslim’ Show.

DSC_0228
live sketch, sample of art by Greg © Nop-Nop

The main reason behind this project, said Nooredin, is to pass a message to the world that Muslim is not like what they thought. Many ideas ’bout Islamophobia, especially in France is an urgent issue that moved Nooredin and his team to make a simple way in delivering the message, by comic. A single image contains with thousand words.

WP_20140312_012
Nooredin answered the question from the audience © Nop-Nop

The Muslim’ Show team was so impressed by the hospitality of Muslim in Indonesia. They also impressed by the freedom given to the Muslimah to wear hijab. Whereas in their home country (France), hijab is prohibited by the state.

Living as Muslim in France is not as easy as in Indonesia. They told us that if you’re Muslim and living there, you had to eat fish. Why? Because halal food is difficult to be found there. Woman (Muslimah) can’t going to University, office, nor school by wearing hijab. In France, masjid is also rare, even the azan. So Indonesian Muslim must be very grateful for this ‘easy’ living.

In the end of discussion, they left a message for us (Indonesian Muslim) to stay away from debate. Debate is the beginning of many bad things; hostility, conflict, even war. Also, they told us to be good with other believers. Indonesia is a plural country with Muslim as majority. So Indonesia Muslim must be a good example to other country ’bout harmony of living with other believers.

Karim & Greg read Inspire Minimagz © Nop-Nop
Karim & Greg read Inspire Minimagz © Nop-Nop

That’s all for last night sharing & discussion with The Muslim’ Show. After session we glad we could take a picture together. It’s an honour for us (Inspire Minimagz) to met such a nice Muslim artists like you. Barokalloh. (Glanz)

The Muslim Show Team, Inspire Crew (Inspirates), and One of The Audience  © Nop-Nop
The Muslim Show Team, Inspire Crew (Inspirates), and One of Audience © Nop-Nop
Taking picture together with The Muslim’ Show © @rizalosaka

Meet and Greet with The Muslim Show’s Authors

Djendela Cafe, 11 Maret 2014

Kali ini bertempat di sebuah cafe yang berada atas toko buku Toga Mas. Aku dan FaQ (Illustrator Inspire) bertemu dengan tiga seniman dari Perancis yang karya-karyanya sering kami temui di laman Facebook. Mereka adalah Noredine Allam, Greg Blondin, dan Karim Allam, orang-orang di balik komik strip “The Muslim Show”.

Tim Muslim' Show di acara Meet & Greet
Tim Muslim’ Show di acara Meet & Greet

Kedatangan mereka ini adalah serangkaian dari acara tur The Muslim Show ke Indonesia dan Malaysia. Didampingi oleh kru dari penerbit Mizan, para komikus The Muslim Show ini akan bertamu ke beberapa kota saat di Indonesia, yakni di Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Acara meet and greet di Djendela Cafe ini salah satunya.

Pada awal acara, moderator mengajukan beberapa pertanyaan untuk memanaskan acara. Kemudian di sesi tanya jawab, hadirin mulai mengajukan beberapa pertanyaan. Beruntung ada penerjemah untuk membantu komunikasi dari komikus ke penanya. Namun ada juga penanya yang langsung menggunakan Bahasa Perancis, ke pada para komikus (curang nih :P).

Dalam dua sesi tersebut kami mengetahui banyak tentang ketiga orang ini dan The Muslim Show. Salah satunya adalah kelebihan The Muslim Show sebagai media dakwah lewat komik. Dijelaskan oleh Noredine, bahwa di zaman sekarang, orang-orang semakin sibuk sehingga bentuk komik dirasa pas untuk menyampaikan pesan secara mudah.

Kemudian ada cerita tersendiri tentang bagaimana awal The Muslim Show diperkenalkan pada masyarakat. Mereka mulanya mendistribusikan komik mereka ke supermarket dan toko buku, namun para karyawan justru ketakutan karena ada hal-hal yang berbau muslim dalam komik mereka. Alhamdulillah, dengan bantuan dari distributor-distributor yang sama-sama muslim, komik mereka pun dapat terjual. Tak lupa dengan tersebarnya komik The Muslim Show di Perancis, perlahan mereka coba meredakan Islamophobia di negeranya. Juga memperkuat hubungan penduduk muslim dan non-muslim Perancis.

Noredine sebelumnya juga menginfokan bahwa The Muslim Show akan membuat kartun animasi yang in shaa Allah bisa kita saksikan bulan September nanti. Lanjutnya, akan ada sosok muslimah kecil yang bakal jadi pemeran utama dalam kartun animasi tersebut. Well, kita tunggu saja 🙂

Selepas acara selesai, Karim dan Noredine menggambarkan karikatur untuk para peserta yang membawa buku komik baru mereka yang berbahasa Indonesia. Dalam waktu kurang dari lima menit mereka sudah berhasil membubuhi komik peserta dengan karikatur mereka. Fast isn’t?

Graig menggambar karikatur untuk peserta Meet & Greet
Greg menggambar karikatur untuk peserta Meet & Greet

Para peserta pun bergembira, tak terkecuali dua mahasiswi Sastra Perancis asal UNY, bernama Isna dan Ifa. Mereka berdua sependapat bahwa The Muslim Show telah membagikan hal-hal sederhana dalam kehidupan seorang muslim namun mengena di hati. Melaui acara ini mereka juga dapat berinteraksi langsung dengan para komikus yang notabene berasal dari Perancis, pas banget dong. Selain mendapatkan karikatur, info-info yang bermanfaat juga mereka dapatkan dari sini.

Setelah, berhasil meliput, mendokumentasi dan berwawancara, kayaknya udah waktunya nih buat pulang. Tapi kayaknya sir Greg yang lagi duduk disampingku lagi bisa diganggu nih, minta foto bareng ah hehe.. Sehabis kami foto bersama sir Greg, kami berdua berpisah di perempatan, pulang menuju rumah masing-masing. (Annonymous)